Selasa, 28 Oktober 2008

Terkenang celana Pak Guru by Joko Pinurbo (1996)


Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas. Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk, kemudian terkulai di atas meja. Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk sambil mengucapkan, “Selamat pagi, Bapak Guru!” Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya seakan mau mengatakan, “Bapak sangat lelah.”
Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang di seluruh ruang.Tapi kami tak tega membangunkannya. Kami baca di papan tulis, “Baca halaman 10 dan seterusnya. Hafalkan semua nama dan peristiwa.”
Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman. Hanya rit celananya yang setengah terbuka seakan mau mengatakan, “Bapak habis lembur semalam.” Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai gundulnya sambil berkata, “Kasihan kepala yang suka ikut penataran ini.”
Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam di bekas lokasi sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan. “Silakan,” katanya. “Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru. “Kau ingat rit celananya yang setengah terbuka?” “Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,” aku memperingatkan.
“Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih dan tenang,” kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya. “Kelak aku juga ingin dikubur di sini.” “Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku. Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang dan rambutnya sudah memutih diam-diam mengawasi kami dari balik pohon kamboja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar