Minggu, 28 Juni 2009

presiden boleh pergi presiden boleh datang

Sebuah orde tenggelam
sebuah orde timbul
tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu selamat
Mereka tidak mengalami guncangan yang berat
Yang selalu terapung di atas gelombang
Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalah
Di negeri kami ungkapan ini begitu indah

Kini simaklah sebuah kisah
Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu,
Honda metalik, dan Mercedes merah
Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah
Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura
Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika

Anak-anaknya ....

Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa
Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil,
lima biro iklan, dan empat pusat belanja.

Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur,
dia, hah!
dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semua
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat
Krisis makin menjadi-jadi
Di mana-mana orang antri
Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi
Isinya masing-masing:
Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng,
dan tiga bungkus mie cepat jadi.

Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi
dan masuk koran halaman lima pagi sekali
Gelombang mau datang,
Datang lagi gelombang setiap bah air pasang
Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang
Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi
lalu ia berkata sambil berdiri:

Yaaa... masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri
Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kakayaan... mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kekayaan... mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kekayaan... harus diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa

Rabu, 17 Juni 2009

KUTEMUKAN JALAN PULANG by Ryan Rachmat

akhirnya kutemukan juga jalan pulang.
setelah kaki berpusing menapaki hingga ujung aspal pekat didih ditelan matahari.
setelah tertegun pada suatu pertigaan tanpa papan penunjuk arah.
terpancang batin menimang kanan kiri yang hendak ku arung.
mengingat kali pertama jalan pertama kali kurunut
ketika ku pergi bertolak ke rimba peradaban.
jalan tanpa aspal yang lebih menyerupai sungai kering kala kemarau meregang.
penuh batu, pasir, tanah, dan deretan ilalang
dan rumput kering kuning kecoklatan

akhirnya kutemukan jalan
menuju nol kilometer
tempat kali pertama aku menulis puisi
tentang masa depan
dan anak-anak