Kamis, 23 Oktober 2008

sajakku melawan kebisuan (Wiji Thukul almarhum - korban orde baru)

. . .
apa guna punya ilmu tinggi
kalau hanya untuk mengibuli
apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah kongkalikong
dengan kaum cukong . . .

. . . sajakku
adalah kebisuan
yang sudah kuhancurkan
sehingga aku bisa mengucapkan
dan engkau mendengarkan

sajakku melawan kebisuan

3 komentar:

  1. SBY - JK adalah baby-nya ORBA....waspadalah....waspadalah....

    Selamat punya blog ya mbak....(Cenil)

    BalasHapus
  2. Wiji Thukul, Tonggak Diaspora Sastra Indonesia


    Bila Rahman (Pemred Horizon) mengatakan sejak tahun 2000-an sastra mengalami perluasan pembaca, maka saya ingin meletakkan itu jauh lebih dini sebelum tumbangnya Soeharto. Saya meletakkannya pada sosok bernama Wiji Thukul penyair kerakyatan (dan juga barisan seniman ‘underdog’, ‘tak bernama’ di pelosok-pelosok negeri ), yang puisinya merentang dari tahun 1987 hingga 1997 sebagai tonggak atau peletak batu penjuru demokratisasi sastra (keseniaan), diaspora sastra.

    Silah kunjung
    http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/04/wiji-thukul-tonggak-diaspora-sastra.html

    BalasHapus
  3. puisi Kang Thukul memang beda, sering kali tanpa menggunakan kata-kata konotatif. Puisinya polos sepolos mukanya. Kembalikan Wiji Thukul

    BalasHapus